Sejarah Lengkap Sunan Giri Wali Songo

Wisata124 Dilihat

Dalam proses panjang perjalanan hidup Sunan Giri, Wali Songo, beliau memiliki banyak nama julukan. Di antaranya adalah Joko Samudro, Raden Paku, dan Muhammad Ainul Yaqin.

eMYetrans.com – Sunan Giri adalah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton. Berkedudukan di daerah Kabupaten Gresik. Sunan Giri membangun Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa yang pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Berikut sejarah lengkapnya!

Orangtua Sunan Giri

Cerita orangtua Sunan Giri kami awali dengan mengisahkan pasangan Maulana Ishak atau (ada juga yang menuliskan Maulana Ishaq) dan istrinya bernama Dewi Sekardadu. Mereka berdua ini adalah orangtua dari Sunan Giri.

Dewi Sekardadu adalah putri bangsawan Menak Sembuyu dari wilayah Kerajaan Blambangan atau Banyuwangi. Sementara itu, Maulana Ishak, seorang mubalig yang datang dari Asia Tengah.

Pernikahan antara mereka berdua adalah hasil dari sayembara pada waktu itu. Konon, suatu penyakit pernah melanda Blambangan dan Dewi Sekardadu salah satu dari sekian banyak masyarakat yang terkena penyakit tersebut.

Raja Menak Sembuyu sempat putus asa karena para dukun dan ahli pengobatan gagal menyembuhkan Dewi Sekardadu.

Dengan adanya sayembara ini bisa dikatakan menjadi awal pertemuan antara Maulana Ishak dan Dewi Sekardadu yang nanti memiliki anak bernama Sunan Giri. Begini ceritanya.

Sayembara Raja Blambangan

Menak Sembuyu lantas mengadakan sayembara demi menemukan seseorang yang mampu menyembuhkan anaknya. Hadiahnya adalah, Jika laki-laki maka akan dijadikan menantu sekaligus mendapatkan separuh kekuasaan kerajaan Blambangan serta dijadikan seorang raja muda.

Kabar tersebut tersebar ke berbagai penjuru negeri dengan cepat. Namun, sayangnya tidak ada yang mengikuti sayembara tersebut. Tak pasti alasannya. Yang jelas, di tengah keputusasaan tersebut, Patih Blambangan akhirnya memberi tahu raja bahwa ada seorang petapa di puncak gunung Slangu yang berperilaku aneh dan berbeda.

Maksudnya, pertapa tersebut tidak menyembah dewa serta ibadahnya berbeda dari masyarakat Blambangan pada masa itu yang menganut agama Hindu.

Patih berpendapat, mungkin saja petapa itu dapat menyembuhkan Dewi Sekardadu. Tanpa banyak pertimbangan, Raja Menak Sembuyu lantas mengutus patihnya yang bernama Buyutsengkoro untuk menemui petapa dan meminta pertolongan untuk menyembuhkan Dewi Sekardadu.

Petapa yang dimaksud adalah Maulana Ishak. Ia pun menerima permintaan tolong tersebut dengan satu syarat, apabila Dewi Sekardadu berhasil sembuh dari penyakitnya, yaitu meminta agar Raja Menak Sembuyu untuk memeluk agama Islam.

Syarat yang berat, tentunya. Namun, raja yang sangat menyayangi puterinya tersebut menerima syarat yang diberikan oleh Maulana Ishak.

Singkat kisah, Maulana Ishakmemanjatkan doa untuk kesembuhan Dewi Sekardadu dan atas izin Allah penyakit Dewi Sekardadu pun dapat sembuh.

Dewi Sekardadu kemudian menikah dengan Syekh Maulana Ishaq, Dewi Sekardadu pun menjadi seorang yang taat menjalankan syariat Islam.

Maulana Ishak menjadi raja kerajaan Blambangan dengan gelar Prabu Anom dan raja Menak Sembuyu yang beragama Hindu kemudian memeluk agama Islam. Sejak saat itu ia dianggap sakti dan kerajaan yang dipimpinnya menjadi makmur serta banyak masyarakat memeluk agama Islam.

Pada saat itu pula para pembesar kerajaan mulai khawatir agama Islam mendesak agama Hindu yang sudah lama dianut oleh masyarakat kerajaan Blambangan. Raja Menak Sembuyu tidak benar-benar menerima agama Islam, secara sembunyi masih memegang erat ajaran-ajaran agama Hindu.

Kelahiran dan Masa Kecil

Konon ceritanya, Maulana Ishak sempat mengajak Menak Sembuyu, mertuanya yang sekaligus Raja Blambangan itu masuk Islam. Namun, Menak Sembuyu tidak setuju dan marah atas ajakan tersebut yang mengakibatkan Maulana Ishak diusir dari Blambangan.

Secara detil, cerita di atas ditulis dalam buku “Sejarah Perjuangan dan Dakwah Islamiyyah Sunan Giri, cetakan ke-3 Yayasan Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang.

Saat pengusiran itu, istri Maulana Ishak, Dewi Sekardadu dalam keadaan sedang hamil. Singkat cerita, mereka pun terpisah karena Menak Sembuyu memaksa putrinya agar tetap tinggal di Blambangan.

Dewi Sekardadu akhirnya meninggal saat melahirkan seorang bayi pada 1442 di Blambangan. Bayi inilah yang kemudian disebut sebagai Pangeran Giri alias Sunan Giri. Cerita belum usai, Sunan Giri yang masih bayi masih harus menjalani rintangan hidup yang cukup pelik. Begini ceritanya.

Dibuang ke Tengah Laut

Merujuk Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo (2016) menuliskan, di Blambangan saat itu sedang terjadi wabah besar (pagebluk). Menak Sembuyu berkeyakinan bahwa pagebluk itu berkaitan dengan bayi laki-laki yang dilahirkan putrinya.

Dalam buku Sejarah Perjuangan dan Dakwah Islamiyyah Sunan Giri, cetakan ke-3 Yayasan Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang, diceritakan, sepeninggal Prabu Anom (Maulana Ishak) inilah kemudian diriwayatkan Kerajaan Blambangan ditimpa wabah berkepanjangan yang membuat Prabu Menak Sembuyu ketakutan dan meminta nasehat kepada Patih Bajul Senggoro.

Prabu Menak Sembuyu selanjutnya memberikan Perintah pada Patih Bajul Senggoro untuk membunuh bayi dalam kandungan Dewi Sekar Dadu, setelah bayi tersebut lahir,

Prabu Menak Sembuyu menyebut pembunuhan cucunya (Bayi yang kelak bernama Sunan Giri) sebagai jalan menghilangkan wabah di Kerajaan Blambangan.

“Kalau anak tersebut lahir, maka hendaklah dibunuh, sedangkan pelaksanaannya terserah Patih sepenuhnya, biarlah aku kehilangan cucu yang pertama dan satu-satunya ini, asalkan keadaan kerajaan menjadi aman tentram tidak dilanda wabah yang seperti ini,” titah Prabu Menak Sembuyu.

Upaya mengusir wabah, bayi itu lantas diletakkan di sebuah peti dan dihanyutkan ke tengah laut. Peti itu lalu tersangkut di kapal milik Nyai Pinatih yang sedang bertolak ke Bali.

Menurut Hoesein Djajadiningrat dalam Sadjarah Banten (1983), Nyai Pinatih adalah janda kaya raya di Gresik, bersuami Koja Mahdum Syahbandar, seorang asing di Majapahit. Nama Pinatih sendiri sejatinya berkaitan dengan nama keluarga dari Ksatria Manggis di Bali (Eiseman, 1988), yang merupakan keturunan penguasa Lumajang, Menak Koncar, salah seorang keluarga Maharaja Majapahit yang awal sekali memeluk Islam.

Diangkat Anak Nyai Pinatih

Bayi yang tersangkut di kapal itu diambil oleh awak kapal dan diserahkan kepada Nyai Pinatih yang kemudian mengangkatnya sebagai anak. Karena ditemukan di laut, maka bayi itu dinamai Jaka Samudra. Setelah cukup umur, Jaka Samudra dikirim ke Ampeldenta untuk berguru kepada Sunan Ampel.

Berganti Nama

Di tempat inilah ia kemudian berganti nama menjadi Muhammad Ainul Yaqin. Sementara itu, menurut Babad Tanah Jawi, sesuai pesan Maulana Ishak, oleh Sunan Ampel nama Jaka Samudra diganti menjadi Raden Paku.

Belajar di Pondok Pesantren

Sebelum memutuskan berdakwah penyebaran agama Islam, di pondok pesantren Ampeldenta, Surabaya, keilmuan Sunan Giri ditempa. Kharismanya sebagai bangsawan juga kian kuat karena belajar dari Sunan Ampel yang saat itu juga berstatus sebagai penguasa Surabaya, anggota senior Wali Songo.

Selain belajar kepada Sunan Ampel, Muhammad Ainul Yaqin juga berhaji dan memperdalam keislaman di Mekah. Sepulangnya, ia lantas mendirikan pondok pesantren di kawasan Giri atau daerah Gresik sekarang. Maka, ia kemudian dikenal dengan nama Sunan Giri.

Alik Al Adhim dalam buku Kerajaan Islam di Jawa (2012) menuliskan bahwa selain melalui jalur pendidikan, Sunan Giri juga berdakwah lewat karya-karya seni yang ia ciptakan, seperti tembang atau lagu dan permainan anak-anak. Permainan anak-anak yang dibuat oleh Sunan Giri di antaranya adalah Jelungan, Jamuran, Gendi Gerit, dan lainnya. Sedangkan tembang anak-anak yang ia ciptakan sebut saja Padang Bulan, Jor, Gula Ganti, dan Cublak-cublak Suweng.

Demikian kisah sejarah Sunan Giri. Penulis menyadari banyak kekurangan dari tulisan di atas dan belum lengkap. Jika Anda memiliki sumber lain, silakan tuliskan di halaman komentar untuk melengkapinya. Terimakasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *